Sejarah mikroskop



  Mikroskop secara sederhana diartikan sebagai sebuah alat yang memungkinkan manusia untuk mengamati suatu benda atau makhluk hidup yang berukuran terlampau kecil sehingga tidak bisa dilihat dan diamati hanya dengan menggunakan mata telanjang. 

   Mikroskop dalam bahasa Yunani yaitu micros = kecil dan scopein = melihat yang artinya ialah sebuah alat untuk melihat objek terlalu kecil untuk dilihat dengan mata kasar. 
Ilmu yang mempelajari benda kecil dengan menggunakan alat ini disebut mikroskopi, dan kata mikroskopik berarti sangat kecil, tidak mudah terlihat oleh mata.
Hadirnya mikroskop memunculkan cabang ilmu baru yang diberi nama Mikrobiologi. Ilmu ini berkembang pesat dengan bertumpu pada kemampuan mikroskop menampilkan hal-hal yang sangat detil dari objek yang diamati.   

   Mikroskop merupakan penemuan yang luar biasa dan berjasa mengembangkan multidisiplin ilmu. Sejarah mikroskop tak bisa lepas dari penemuan lensa oleh seorang ilmuan Thonius Philips Van Leewenhoek (1632-1723). Sejak belita, ia memang sudah terpesona dengan lensa. Hal ini yang menjadikan ia begitu giat mempelajari lensa selama hidupnya. Leewenhoek terdaftar sebagai salah satu mahasiswa Ilmu Pengetahuan Alam yang lahir dan besar di Belanda. Ia dipenuhi dengan imajinasi tentang makhluk berukuran mikro yang hidup bebas dan luput dari perhatian manusia. Imajinasi ini, serta ketertarikannya pada lensa juga cermin yang kemudian mengilhami ia menciptakan sebuah alat yang kini kita kenal dengan nama Mikroskop.

   Pada awal kemunculannya, mikroskop hanya memiliki satu lensa saja yakni jenis lensa okuler. Hal ini kemudian membuat para ahli banyak yang mengecilkan peranan Leewenhoek dalam sejarah mikroskop sebab mereka beranggapan alat yang dibuat oleh Leewenhoek bukan mikroskop melainkan lensa dengan corong yang tak lebih dari sebuah kaca pembesar saja. Terlepas dari polemik sejarah yang ada, pastinya Leewenhoek telah membuat sekitar 250 buah dengan pembesaran lensa 200 sampai 300 kali dari pembesaran awalnya. Dengan menggunakan alat yang ia temukan, Leewenhoek berhasil mengamati mikroba yang ada pada tetesan air danau.

   Perkembangan selanjutnya dalam sejarah mikroskop dimulai secara revolusioner dengan campur tangan seorang ilmuan dari Berlin University bernama Dr. Ernest Ruska. Ia menggembangkan penemuan Thonius Philips Van Leewenhoek yang hanya menggunakan satu lensa dan kemudian menciptakan mikroskop transmisi electron (TEM) pada tahun 1931. Berkat penemuan ini, lembaga pemberi Nobel di Norwegia menganugerahkan Nobel Fisika padanya di tahun 1986. Mikroskop yang dikembangakan oleh  Dr. Ernest Ruska menggunakan dua lensa dengan medan magnet. Selanjutnya, 3 tahun berelang, ia kemudian menciptakan mikroskop dengan tiga buah lensa yang mampu membidik dengan resolusi sampai 100 nm. Angka ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan jenis mikroskop cahaya yang saat itu lazim digunakan.

  Dalam perkembangan sejarah mikroskop, perkembangan ilmu pengetahuan khususnya kajian mengenai mikroorganisme menjadi lebih mudah dan berdampak baik pada berbagai bidang salah satunya adalah medis. Dengan mikroskop, peneliti lebih bisa mengamati berbagai bakteri juga virus yang menyebabkan sejumlah penyakit serius untuk kemudian mencari kelemahannya dan menciptakan formula untuk membasminya. 

   Semua keajaiban tersebut tak bisa dipisahkan dari keberadaan Mikroskop. Dan bukan hal yang berlebihan jika generasi saat ini berterimakasih pada ilmuan cerdas bernama Thonius Philips Van Leewenhoek.

   Dalam sejarah, yang dikenal sebagai pembuat mikroskop pertama kali adalah 2 ilmuwan Jerman, yaitu Hans Janssen dan Zacharias Janssen (ayah-anak) pada tahun 1590. Temuan mikroskop saat itu mendorong ilmuan lain, seperti Galileo Galilei (Italia), untuk membuat alat yang sama. Galileo menyelesaikan pembuatan mikroskop pada tahun 1609, dan mikroskop yang dibuatnya dikenal dengan nama mikroskop Galileo. Mikroskop jenis ini menggunakan lensa optik, sehingga disebut mikroskop optik. Mikroskop yang dirakit dari lensa optic memiliki kemampuan terbatas dalam memperbesar ukuran obyek. Hal ini disebabkan oleh limit difraksi cahaya yang ditentukan oleh panjang gelombang cahaya. Secara teoritis, panjang gelombang cahaya ini hanya sampai sekitar 200 nanometer. Untuk itu, mikroskop berbasis lensa optik ini tidak bisa mengamati ukuran di bawah 200 nanometer. Untuk melihat benda berukuran di bawah 200 nanometer, diperlukan mikroskop dengan panjang gelombang pendek.

   Dari ide inilah, di tahun 1932 lahir mikroskop elektron. Sebagaimana namanya, mikroskop elektron menggunakan sinar elektron yang panjang gelombangnya lebih pendek dari cahaya. Karena itu, mikroskop elektron mempunyai kemampuan pembesaran obyek (resolusi) yang lebih tinggi dibanding mikroskop optik. Sebenarnya, dalam fungsi pembesaran obyek, mikroskop elektron juga menggunakan lensa, namun bukan berasal dari jenis gelas sebagaimana pada mikroskop optik, tetapi dari jenis magnet. Sifat medan magnet ini bisa mengontrol dan mempengaruhi elektron yang melaluinya, sehingga bisa berfungsi menggantikan sifat lensa pada mikroskop optik. Kekhususan lain dari mikroskop elektron ini adalah pengamatan obyek dalam kondisi hampa udara (vacuum). Hal ini dilakukan karena sinar elektron akan terhambat alirannya bila menumbuk molekul-molekul yang ada di udara normal. Dengan membuat ruang pengamatan obyek berkondisi vacuum, tumbukan elektron-molekul bisa terhindarkan.

    Ada 2 jenis mikroskop elektron yang biasa digunakan, yaitu transmission electron microscopy (TEM) dan scanning electron microscopy (SEM). TEM dikembangkan pertama kali oleh Ernst Ruska dan Max Knoll, 2 peneliti dari Jerman pada tahun 1932.  Saat itu, Ernst Ruska masih sebagai seorang mahasiswa doktor dan Max Knoll adalah dosen pembimbingnya. Karena hasil penemuan yang mengejutkan dunia tersebut, Ernst Ruska mendapat penghargaan Nobel Fisika pada tahun 1986. Sebagaimana namanya, TEM bekerja dengan prinsip menembakkan elektron ke lapisan tipis sampel, yang selanjutnya informasi tentang komposisi struktur dalam sample tersebut dapat terdeteksi dari analisis sifat tumbukan, pantulan maupun fase sinar elektron yang menembus lapisan tipis tersebut. Dari sifat pantulan sinar elektron tersebut juga bisa diketahui struktur kristal maupun arah dari struktur kristal tersebut. Bahkan dari analisa lebih detail, bisa diketahui deretan struktur atom dan ada tidaknya cacat (defect) pada struktur tersebut. Hanya perlu diketahui, untuk observasi TEM ini, sample perlu ditipiskan sampai ketebalan lebih tipis dari 100 nanometer. Dan ini bukanlah pekerjaan yang mudah, perlu keahlian dan alat secara khusus. Obyek yang tidak bisa ditipiskan sampai order tersebut sulit diproses oleh TEM ini. Dalam pembuatan divais elektronika, TEM sering digunakan untuk mengamati penampang/irisan divais, berikut sifat kristal yang ada pada divais tersebut. Dalam kondisi lain, TEM juga digunakan untuk mengamati irisan permukaan dari sebuah divais.

  Tidak jauh dari lahirnya TEM, SEM dikembangkan pertama kali tahun 1938 oleh Manfred von Ardenne (ilmuwan Jerman). Konsep dasar dari SEM ini sebenarnya disampaikan oleh Max Knoll (penemu TEM) pada tahun 1935. SEM bekerja berdasarkan prinsip scan sinar elektron pada permukaan sampel, yang selanjutnya informasi yang didapatkan diubah menjadi gambar. Imajinasi mudahnya gambar yang didapat mirip sebagaimana gambar pada televisi.

   Cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optic dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut discan dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi.
    
  Demikian, SEM mempunyai resolusi tinggi dan familiar untuk mengamati obyek benda berukuran nano meter. Meskipun demikian, resolusi tinggi tersebut didapatkan untuk scan dalam arah horizontal, sedangkan scan secara vertikal (tinggi rendahnya struktur) resolusinya rendah. Ini merupakan kelemahan SEM yang belum diketahui pemecahannya.

   Namun demikian, sejak sekitar tahun 1970-an, telah dikembangkan mikroskop baru yang mempunyai resolusi tinggi baik secara horizontal maupun secara vertikal, yang dikenal dengan "scanning probe microscopy (SPM)". SPM mempunyai prinsip kerja yang berbeda dari SEM maupun TEM dan merupakan generasi baru dari tipe mikroskop scan. Mikroskop yang sekarang dikenal mempunyai tipe ini adalah scanning tunneling microscope (STM), atomic force microscope (AFM) dan scanning near-field optical microscope (SNOM). Mikroskop tipe ini banyak digunakan dalam riset teknologi nano".

Komentar

Postingan Populer